
Jakarta, – Gagasan Reformasi Jilid 2 yang disampaikan Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, Guru Besar Universitas Negara Islam (UIN) penting untuk perbaikan tata pemerintahan ke depan. judi slot gacor hari ini
Dalam pernyataannya pada Sabtu, 21 Mei 2022, Azra menilai, berbeda dengan reformasi 1998 yang memicu kerusuhan dan kekerasan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil, Indonesia harus melaksanakan bagian kedua dari reformasi yang dilaksanakan secara damai.
Azra mengatakan pada peringatan 24 tahun peringatan Reformasi: “Sekarang kita membutuhkan buku reformasi kedua, tetapi kita membutuhkan reformasi dan refleksi damai dan damai tahap kedua. Ini muncul di akun YouTube National Institute of Dignity.
Menurut Azra, praktik demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini semakin menurun. Salah satu tanda frustrasi ini, kata Azra, adalah munculnya proses desentralisasi baru-baru ini.
Keberanian AZRA dalam modernisasi tercermin dari kebijakan pemerintah mengangkat kepala daerah sementara untuk mengisi kekosongan kepala daerah pada tahun 2024 tanpa campur tangan masyarakat.
“Sebenarnya yang disebut otonomi daerah itu dibangun dengan sangat keras. Sentralisasi yang kuat lah yang membuat perlawanan jika kita belajar dari sejarah.”
Hal itu dibuktikan dengan keputusan pemerintah mengangkat Brigjen Andy Chandra Asaduddin untuk mengangkat Brigjen Badan Intelijen Daerah (BIN) Sulawesi Tengah (Sulteng) sebagai Wakil (Pj) Kabupaten Seram Barat kini menuai kontroversi. Karena dia adalah tentara aktif.
Pengangkatan tersebut dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Memang, penunjukan ini kemungkinan akan mengembalikan fungsi ganda militer ROK.
Azra juga menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus bisa berperan dalam meningkatkan kehidupan demokrasi agar bisa dianggap meninggalkan warisan yang baik.
Menurut Azra, Jokowi bisa mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai pengganti perppu untuk beberapa undang-undang, seperti UU KPK yang melemahkan UU KPK, UU Cipta Kerja yang merugikan buruh, dan UU Minerva yang menguntungkan pemodal ventura.
“Bebaskan Birbo, selesaikan. Maka sejarah akan mengingat ada titik balik dari Pak Jokoi. Akan sangat dihargai jika itu dilakukan. Jadi bukan berarti tidak ada jalan. Ada jalan, ” dia berkata. Azra.
Pengamat politik sekaligus pendiri Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menyoroti tiga masalah utama yang muncul pasca reformasi 1998.
Yang pertama menyangkut pandangan elit politik tentang model demokrasi, kata Ray. Menurutnya, elit politik memahami hukum dan prinsip demokrasi dari perspektif yang minim.
“Ini untuk memahami demokrasi sebagai seperangkat aturan atau undang-undang tertulis, tidak lebih, tidak kurang,” kata Ray kepada , Jumat, 27 Mei 2022.
Ray berpendapat bahwa dalam memahami demokrasi sederhana kita melihat segala sesuatu dari segi ada atau tidaknya aturan yang mengatur segala sesuatu. Jika diatur melalui peraturan tertulis, kami akan meminta klarifikasi untuk memungkinkan elit melakukan tindakan yang bertentangan dengan tujuan peraturan itu.
Seperti yang dikatakan Ray, “Pandangan ini hampir merata di antara semua politisi di semua tingkatan. Karena sudut pandang ini, faktor kedua ikut berperan.”
Ray melanjutkan dengan mengatakan bahwa pengaruh pandangan demokrasi sederhana di pihak elit menciptakan faktor problematis kedua. Hal ini meminimalkan atau mengabaikan pertimbangan etis atau moral dalam praktik demokrasi para elit politik.
“Moralitas tidak menjadi pertimbangan karena semuanya diperbolehkan atau diatur secara hukum atau tidak,” kata Ray.
Ray mengutip contoh masalah moralitas dan kurangnya moralitas dalam praktik politik dan merupakan praktik politik dinasti yang meresap.
Sebab, menurut Ray, undang-undang tersebut tidak mengatur larangan politik dinasti, elit politik memperebutkan prioritas keluarga di berbagai posisi politik.
“Kalau dikritik, mereka akan menjawab bahwa tidak ada aturan atau undang-undang yang melarangnya. Ini celah moral demokrasi di antara kita,” kata Ray.
Menurut Ray, kondisi ini juga mempengaruhi kondisi ketiga, yaitu budaya demokrasi yang tidak berkembang, karena tidak ada moralitas dan moralitas dalam pemikiran dan praktik demokrasi sederhana.
Apa yang dimaksud Ray tentang budaya demokrasi adalah bahwa setiap warga negara harus berpikir dan bertindak apa yang paling penting bagi lebih banyak orang daripada kepentingan kolektifnya. Bukan hanya untuk kalangan elit, tetapi juga untuk semua lapisan masyarakat dan latar belakang.
Menurut Ray, hal terpenting dalam budaya demokrasi bukanlah norma atau landasan hukum, tetapi kesadaran untuk melayani kepentingan bersama.
Ray mengatakan, “Budaya demokrasi ini sangat dekat dengan semangat Pancasila. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan sila kedua” dari kemanusiaan yang adil dan beradab dan ”sila kelima”, ujar Ray. .
“Melihat ketiga situasi ini, saya juga menekankan perlunya reformasi. Kita perlu mereformasi budaya demokrasi bangsa kita, bukan mereformasi sistem politik.”
Di sisi lain, menurut Ray, skala reformasi kedua ini tidak diperlukan dalam kaitannya dengan penataan sistem administrasi nasional. Menurutnya, segala sesuatu yang sudah ada sudah cukup dengan standar demokrasi modern.
Sebab, menurut Ray, Indonesia kini sudah memiliki semua aturan dan institusi yang lazim ditemui di negara demokrasi modern. Selain itu, pilihan sistem ketatanegaraan yang disebut demokrasi Indonesia selama ini dianggap sebagai pilihan yang tepat.
Ray mengatakan, “Kita masih perlu pembenahan di elemen teknis, tapi tidak pada inti atau prinsip demokrasi. Jadi saya rasa buku reformasi kedua tidak diperlukan untuk membangun sistem demokrasi dan konstitusional,” kata Ray. .
(Penulis: Ardito Ramadhan | Editor: Icha Rastika)